SWEET ANGEL 'N REBEL YOUNG

SWEET ANGEL 'N REBEL YOUNG
My LeBeL

Kamis, 12 Agustus 2010

A. Pengertian Puasa Puasa, shaum atau shiyam, pengertiannya secara etimologis adalah “al-Imsaku ‘an  al-Syai” yaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Misalnya menahan diri dari makan, minum, bercampur dengan istri, berbicara dan sebagainya. Dalam pengertian selanjutnya al-shaum atau puasa adalah yaitu meninggalkan makan, minum, bercampur dengan isteri, dan meninggalkan perkataan. Berkata Sufyan bin Uyaynah : puasa adalah melatih kesabaran, manusia bersikap sabar (menahan diri) dari makan,minum, berhubungan seksual. kemudian ia membacakan ayat (QS. al-zumar, 39: 10. Lisan al-Arab, 12/350)

Arti seperti ini, misalnya disebutkan dalam al-Qur’an, bahwa Allah s.w.t. memerintahkan kepada Siti Maryam, ibunda Nabi Isa a.s. sebagai berikut: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (QS. Maryam, 19:26). Maksud dari ayat itu menjelaskan, bahwa aku (Maryam) mena¬han diri dari berbicara pada hari ini sebagai nadzar terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih. Arti seperti ini bisa dikembangkan lebih jauh, seperti menahan diri dari jenis makanan tertentu, menahan diri dari melakukan suatu pekerjaan dan sebagainya.

Menurut pengertian terminologis, atau pengertian secara istilah syara’, puasa adalah: “Menahan diri dari makan, minum dan bersenggama, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari (Maghrib), karena mengharap keridhaan Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah dengan jalan muraqabah (merasa selalu diperhatikan Allah) disertai mendidik kehendak dan keingi¬nan”. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373 hal. 143). 

Pengertian serupa dijelaskan dalam kitab Subul al-Salam: “Menahan diri dari makan, minum, jima’ (bercampur dengan istri) dan lain-lain yang telah diperintahkan kepada kita untuk menahannya, sepanjang hari menurut cara yang disyariat¬kan. Demikian pula diperintahkan menahan diri dari ucapan yang diharamkan atau dimakruhkan, karena ada hadis-hadis yang melarang hal itu, itu semua berdasarkan waktu dan syarat-syarat yang telah ditetapkan”. (Subul al-Salam II, hal. 206). 

Pengertian puasa seperti yang disebutkan di atas, baik secara etimologis maupun terminologis, satu dan lainnya saling melengkapi. Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat penulis, puasa adalah: “Meninggalkan makan, minum, bercampur dengan istri dan segala yang membatalkannya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, disertai niat dan keikhlasan karena Allah s.w.t., dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. 

B. Landasan Hukumnya Ibadah puasa Ramadhan diwajibkan berdasarkan ketetapan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ umat Islam. Firman Allah s.w.t.: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:183). 

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, disyariatkan pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban, tahun kedua Hijriyah. Nabi s.a.w., bersabda: “Islam itu ditegakkan atas lima azas yaitu: 

(1) Bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah. 

(2) Mendirikan shalat. 

(3) Menunaikan zakat. 

(4) Berhaji ke Baitullah. 

(5) Berpuasa dalam bulan Ramadhan”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 7 dan Muslim: 19). 

Dalam hadis yang lain Rasulullah s.a.w., bersabda: Dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w. bersabda: "Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosanya yang telah berlalu”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 37 dan Muslim: 1266). Dalam hadis yang lain Rasulullah s.a.w., bersabda: “Amal setiap orang balasannya dilipatgandakan, setiap kebai-kan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali. Berfirman Allah s.w.t.:
“Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang langsung membalasnya, karena ia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya semata-mata untuk beribadah pada-Ku. 
Bagi orang yang berpuasa memperoleh dua kebahagiaan,
(1) kebahagiaan ketika ia berbuka dan 

(2) kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya. Sesungguhnya aroma mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari parfum misk (kasturi)”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 6938 dan Muslim: 1945). 

C. Syarat Wajib Puasa Mereka yang diwajibkan melaksanakan puasa Ramadhan adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 

1. Beragama Islam. Bagi mereka yang tidak beragama Islam tidak diwajibkan puasa. Bila ia masuk Islam, maka tidak wajib meng¬qadha puasanya yang telah lalu, karena setiap orang yang masuk Islam diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Firman Allah s.w.t.: 
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah) terhadap orang-orang dahulu”. (QS. al-Anfal, 8:38). 
2. Berakal. Orang yang terganggu akalnya, atau gila tidak wajib berpuasa. 
3. Baligh atau dewasa. Yaitu berumur lima belas tahun ke atas, atau sudah menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi sebagai tanda baligh bagi anak laki-laki, meskipun usianya belum mencapai umur lima belas tahun. Anak yang belum baligh, sebagaimana disebutkan di atas tidak wajib berpuasa. 
Namun demikian bila anak itu telah mumayyiz (bisa membedakan yang baik dan yang buruk) kemudian ia melak¬sanakan puasa, maka puasanya sah. Oleh karena itu sejak kecil anak-anak harus dilatih berpuasa, sehingga pada saat memasuki dewasa mereka telah terbiasa melaksanakannya. Sabda Nabi s.a.w.: 
“Ada tiga kelompok yang dibebaskan dari hukum, yaitu: 
(1) Orang yang tidur sehingga ia bangun. 
(2) Anak-anak sampai ia baligh. 
(3) Orang gila sampai ia sembuh”. (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 3822, al-Tirmidzi: 1343, al-Nasa'i: 3378, Ibn Majah: 2031, dan Ahmad: 910. teks hadis riwayat al-Nasa'i). 
4. Mampu Berpuasa. Mereka yang tidak mampu berpuasa, karena sudah sangat tua, sakit dan sebagainya, tidak wajib berpuasa, kewa¬jiban itu diganti dengan membayar fidyah. Firman Allah s.w.t.: “Barang siapa yang sakit, atau sedang dalam perjalan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan”. (QS. al-Baqarah, 2:185). 

Pada ayat yang lain dijelaskan: “Dan wajib bagi mereka yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin”. (QS. al-Baqarah, 2:184). 

D. Syarat Sah Puasa Pelaksanaan ibadah puasa menjadi sah, bila memenuhi per¬syaratan sebagai berikut:

[1] Beragama Islam, orang-orang non muslim tidak sah bila melaku¬kan ibadah puasa.

[2] Mumayyiz, yaitu seorang anak baik laki-laki ataupun perempuan yang telah memiliki kemampuan membedakan kebaikan dan keburu¬kan. 

[3] Suci dari haid dan nifas, bagi perempuan yang sedang haid atau nifas (keluar darah sehabis melahirkan) tidak boleh berpuasa. Namun mereka wajib mengqadha (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari lain setelah mereka suci dari haid dan nifasnya. Keterangan dari hadis riwayat Aisyah r.a: “…Kami diperintahkan Rasulullah s.a.w. mengqadha puasa dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 508). 

4. Dikerjakan pada waktu yang diperkenankan puasa padanya, jika melaksanakan puasa pada waktu yang tidak diperbolehkan puasa padanya, maka puasanya tidak sah, bahkan tidak boleh dilaku¬kan. 

Dilarang berpuasa pada 
(1) Hari raya ‘Idul Fitri.

(2) Hari raya ‘Idul Adha.

(3) Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah. Dijelaskan dalam hadis Nabi s.a.w.: "Nabi s.a.w. melarang puasa pada hari Idul Fitri, dan Idul Adha”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1855 dan Muslim: 1921). "Nabi s.a.w. melarang puasa pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq”. (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 772). 
E. Rukun Puasa Rukun adalah sesuatu yang harus dikerjakan, bila diting-galkan salah satunya maka ibadahnya tidak sah. Rukun ibadah puasa ada dua macam yaitu: 

[1] Niat melaksanakan ibadah puasa, waktunya pada malam hari, sejak waktu Maghrib sampai waktu fajar. Keharusan niat dalam setiap ibadah termasuk ibadah puasa berdasarkan firman Allah s.w.t.: “Dan tidakkah mereka diperintahkan, kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena (menjalankan) agama dengan lurus...”. (QS. al-Bayyinah, 98:5). Sabda Nabi Muhammad s.a.w.: "Sesungguhnya setiap amal itu harus disertai dengan niat…”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1 dan Muslim: 3530). "Siapa yang tidak membulatkan niat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya (tidak sah puasanya)”. (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 2098 al-Tirmidzi: 662, dan al-Nasa'i: 2293). Pada puasa sunnah diperbolehkan niat di pagi harinya sampai menjelang waktu Dzuhur, berdasarkan hadis Shahih sebagai berikut; Dari Aisyah r.a. ia menuturkan, "suatu hari Nabi s.a.w. datang kepadaku dan bertanya, "Apakah kamu punya makanan?". Aku menjawab, "Tidak". Maka beliau bersabda, "Baiklah kalau begitu (hari ini) aku berpuasa". Kemudian pada hari yang lain beliau datang lagi kepadaku, lalu aku katakan kepadanya,”Wahai Rasulullah kami diberi hadiah makanan (haisun)". Beliau berkata, "Tunjukkan padaku, sebenarnya sejak pagi aku berpuasa". Kemudian beliau memakan makanan tadi". (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Dawud: 2099, al-Tirmidzi: 666, al-Nasa'i: 2283, dan Ahmad: 24549). 

[2] Meninggalkan segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar di waktu Shubuh sampai terbenam matahari di waktu Maghrib. Berdasarkan Firman Allah s.w.t.: “…Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam...”.(QS. al- Baqarah, 2: 187). 

F. Yang Membatalkan Puasa Puasa yang dikerjakan menjadi batal atau tidak sah, bila melakukan salah satu yang membatalkannya, antara lain sebagai berikut:

[1] Makan dan minum, sedikit atau banyak. (lihat QS. al-Baqarah ayat 187 di atas). Tidak batal puasa karena makan dan minum yang tidak disengaja, baik sedikit ataupun banyak, misalnya karena lupa. Sabda Nabi s.a.w.: “Siapa yang lupa, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan padanya makan dan minum”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1797 dan Muslim: 1952). 

[2] Bersetubuh atau melakukan hubungan seksual. (lihat QS. al-Baqarah 187). Bersetubuh atau melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan, bukan saja membatalkan puasa, tetapi juga dikenai kifarat atau denda, dengan:
(a) Memerdeka¬kan seorang hamba, atau bila tidak mampu.

(b) Puasa dua bulan berturut-turut. Atau bila tidak mampu juga 

(c) Memberi makan enam puluh orang miskin. Sabda Nabi s.a.w.: Dari Abu Hurairah r.a. menceritakan,“Seorang pria datang pada Rasulullah s.a.w. ia berkata: “Celaka aku wahai Rasulullah”, Nabi s.a.w. bertanya: “Apa yang mencelaka-kanmu?” pria itu menjawab: “Aku telah bercampur dengan istriku pada siang hari bulan Ramadhan”. Nabi s.a.w. bersabda: “Mampukah kamu memerdekakan seorang budak?” ia menjawab: “Tidak”. Rasu¬lullah bertanya padanya: “Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” pria itu menjawab: “Tidak mampu”. Rasulullah bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki makanan untuk memberi makan enam puluh orang miskin?” ia menjawab:” Tidak, kemudian pria itu duduk, maka diberikan kepada Nabi s.a.w. keranjang besar berisi kurma. Rasulullah berkata: “Bersedekahlah dengan kurma ini”. Pria itu bertanya: “Apakah kepada orang yang lebih membutuhkan dari kami?. tidak ada keluarga yang lebih membutuhkan kurma ini selain dari keluarga kami”. Nabi s.a.w. tertawa, sehingga terlihat gigi taringnya, dan beliau bersabda: “Kembalilah ke rumahmu dan berikan kurma itu pada ke¬luargamu”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1800 dan Muslim: 1870).

[3] Mengalami haid atau nifas. 

[4] Gila. Bila gila itu terjadi pada waktu siang hari dan dalam keadaan berpuasa, maka batallah puasanya. 
[5] Keluar sperma dengan disengaja, baik melalui sentuhan, onani atau masturbasi. Adapun keluar sperma dengan tidak disengaja, misalnya karena bermimpi, maka tidak membatalkan puasa. 
[6] Muntah dengan sengaja. Apabila tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa. (Sulaiman Rasjid, 1990: 219 – 220) Dari Abu Hurairah r.a. menuturkan, "Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda, "Siapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak wajib qadha puasa, dan siapa yang dengan sengaja muntah maka ia wajib qadha puasa". (Hadis Hasan Gharib, riwayat al-Tirmidzi: 653 dan Ibn Majah: 1666) 

G. Yang Diberi Keringanan Tidak Berpuasa Ada beberapa macam orang yang diberi keringanan untuk berbuka atau tidak melaksanakan puasa karena ada udzur atau halangan, yaitu: 

[1] Orang sakit yang tidak kuat melaksanakan puasa, atau bila berpuasa maka sakitnya akan bertambah parah, atau dapat mem¬perlambat penyembuhannya, maka orang tersebut boleh berbuka atau tidak melaksanakan puasa. Ia wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya setelah sembuh.

[2] Musafir atau orang yang berada dalam perjalanan yang menyulit¬kan dan jauhnya memenuhi syarat, maka boleh berbuka. Ia wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Firman Allah s.w.t.:”...dan barang siapa sakit atau dalam perjala¬nan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. al-Baqarah, 2:185)

[3] Orang tua yang lemah, tidak mampu lagi melaksanakan puasa karena sangat tua atau karena fisiknya lemah. Orang-orang yang sakit menahun dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya, boleh tidak berpuasa. Bagi mereka diwajibkan membayar fidyah, bersedekah dengan memberi makan satu orang miskin setiap hari selama ia meninggalkan puasa Ramadhan. “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin”. (QS. al-Baqarah, 2:184). 

[4] Wanita hamil atau menyusui anaknya, jika melaksanakan puasa ia khawatir akan menimbulkan bahaya (mudharat) bagi dirin¬ya, anak yang dikandungnya dan yang disusui, boleh tidak berpuasa. Baginya mengqadha puasa yang ditinggalkannya. 

H. Sunnah-Sunnah Puasa Sunnah atau anjuran dalam melaksanakan ibadah puasa ter¬diri dari: 

[1] Menyegerakan berbuka, setelah masuk waktu Maghrib. Sabda Nabi s.a.w.: “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1821 dan Muslim: 1838). 
 
[2] Mengawali buka dengan buah kurma, buah-buahan yang manis atau dengan air putih. “Dari Anas r.a., Nabi s.a.w. berbuka dengan ruthab (kurma yang ranum) sebelum shalat, apabila tidak ada, maka berbuka dengan kurma biasa, kalau tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air putih”. (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 632).
[3] Berdoa waktu buka puasa. “Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah s.a.w. apabila berbuka puasa, beliau berdoa: Wahai Allah, karena Engkau aku berpuasa, dan dengan rizki yang kau berikan aku berbuka, dahaga telah hilang, telah basah urat syaraf dan Insya Allah pahalanya ditetapkan”. (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud: 2359).

[4] Makan sahur, dilakukan setelah lewat tengah malam, untuk menambah kekuatan waktu puasa di siang harinya. Nabi s.a.w. bersabda: “Makan sahurlah kamu, sesungguhnya dalam makan sahur itu terdapat keberkahan”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1789 dan Muslim: 1835). 

[5] Memberikan makanan berbuka bagi orang lain. Sabda Nabi s.a.w.: “Barangsiapa yang memberikan makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, sedangkan yang berpuasa tidak berkurang sedi¬kitpun pahala puasanya”. (Hadis Hasan Shahih, Riwayat al-Tirmidzi: 735). 

[6] Memperbanyak shadaqah. Dari Anas r.a. Rasulullah s.a.w. ditanya: “Sedekah apakah yang paling utama? Nabi s.a.w. menjawab: Shadaqah dalam bulan Ramad-han”. (Hadis Gharib, Riwayat al-Tirmidzi: 599). 

[7] Mengakhirkan makan sahur sebelum fajar. Sabda Rasulullah s.a.w.: Umatku senantiasa berada dalam kebaikan, selama mereka men¬gakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka”. (Hadis Shahih, Riwayat Ahmad: 21739).

[8] Melakukan tadarrus, membaca dan mempelajari al-Qur’an, berda¬sarkan sunnah Rasulullah s.a.w. 

[9] Melaksanakan qiyam Ramadhan, yang dikenal dengan shalat Tara¬wih dan shalat Witir. 

[10] Menghidupkan malam sepuluh terakhir Ramadhan dengan menggiat¬kan amal dan bersungguh-sungguh dalam meningkatkan ibadah.

[11] Melakukan i’tikaf, diam di masjid untuk beribadah pada hari sepuluh yang akhir bulan Ramadhan. “Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. apabila memasuki malam terakhir Ramadhan, menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan semakin bersungguh-sungguh beribadah dan mengencangkan ikat pinggang (tidak menggauli istrinya)”. (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 1884 dan Muslim: 2008).

I. Yang Diharamkan Berpuasa

a. Wanita yang sedang haid (menstruasi) 

b. Wanita yang nifas (sehabis melahirkan) 

J. Qadha, Fidyah dan Kifarat a. Wajib mengqadha puasa bagi: 

[1] Orang sakit yang tidak mampu berpuasa, wajib mengqadha setelah sembuh. 

[2] Orang yang hamil atau menyusui anak yang khawatir memba¬hayakan dirinya dan anaknya. 

[3] Orang yang batal puasanya karena sebab-sebab lain, misaln¬ya karena muntah dengan sengaja atau karena keluar sperma dengan disengaja, seperti onani, masturbasi dan sebagain¬ya.

b. Wajib membayar fidyah saja 

[1] Orang yang sangat tua, sehingga fisiknya lemah dan tidak mampu berpuasa. 

[2] Orang yang sakit menahun yang tidak bisa diharapkan kesem¬buhannya. 

[3] Wajib qadha dan wajib kifarat, yaitu bagi orang yang mela¬kukan hubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan. Maka ia harus mengqadha puasanya dan membayar kifarat, yaitu dengan 

(a) Memerdekakan seorang budak atau 

(b) Puasa dua bulan berturut-turut, atau 

(3) Memberi makan enam puluh orang miskin. 

K. Puasa-Puasa Sunnah Puasa sunnah terdiri dari: 

[1] Puasa enam hari bulan Syawal. “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, bagaikan puasa sepanjang masa”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1948, al-Tirmidzi: 690, Abu Dawud: 2078, Ibn Majah: 1706, dan Ahmad: 13783). 

[2] Puasa hari Arafah. Dikerjakan tanggal 9 Dzulhijjah, tetapi bagi mereka yang sedang melakukan wuquf di Arafah, tidak di¬perkenankan melaksanakannya. “Puasa hari Arafah itu menghapus¬kan dosa dua tahun, tahun yang lalu dan tahun yang akan da¬tang”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1976 dan Ahmad: 21496. teks hadis riwayat Ahmad). Rasulullah s.a.w. telah melarang berpuasa pada hari Arafah di padang Arafah”. (Hadis Hasan, riwayat Ibn Majah: 1722, dan Ahmad: 7688. teks hadis riwayat Ibn Majah). 

[3] Puasa hari Tasu’a dan Asyura, yaitu puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharram. “Puasa hari Asyura menghapuskan dosa setahun yang lalu”. (Hadis Shahih, Riwayat Muslim: 1977). Sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura, kamu tidak diwajibkan puasa padanya dan aku sekarang berpuasa, maka siapa yang mau berpuasa puasalah dan siapa yang tidak suka berbukalah”. (Hadis Shahih, riwayat Bukhari: 1760 dan Muslim: 1900. teks hadis riwayat al-Bukhari). Ketika Rasulullah s.a.w. berpuasa pada hari Asyura dan mengarahkan orang agar melaksanakannya, mereka berkata: “Wahai Rasulullah ia (Asyura) itu suatu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Maka Nabi bersabda: “Apabila sampai tahun depan, Insya Allah kami berpuasa pada hari kesembilan (Tasu’a). Kata Ibnu Abbas r.a. sebelum sampai tahun depan Rasulullah s.a.w. wafat”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1916 dan Abu Dawud: 2089. teks hadis riwayat Muslim).

[4] Puasa pada hari Senin dan Kamis. “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. banyak berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Maka ditanyakan pada Nabi s.a.w. mengenai sebabnya, Nabi menjawab: “Sesungguhnya amalan-amalan itu diperlihatkan pada setiap hari Senin dan Kamis, maka Allah berkenan mengam¬puni setiap orang muslim dan setiap orang mukmin, kecuali dua orang yang bermusuhan, maka firman-Nya: “Tangguhkanlah kedua orang yang bermusuhan itu”. (Hadis Shahih, riwayat al-Nasa'i: 2324, Ibn Majah: 1730, dan Ahmad: 8011. teks hadis riwayat Ahmad). “Nabi s.a.w. memilih waktu puasa pada hari Senin dan Kamis”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1978). 

[5] Puasa Putih, yaitu puasa pada waktu bulan purnama, tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan tahun Hijriyah. Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Wahai Abu Dzar, apabila engkau hendak berpuasa tiga hari dalam satu bulan, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14 dan 15”. (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 692, al-Nasa'i: 2381 dan Ahmad: 20465. teks hadis riwayat al-Tirmidzi). 

[6] Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. “Kata ‘Aisyah: “Aku tidak melihat Rasulullah s.a.w. menyempurna¬kan puasa penuh selama satu bulan, kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak melihat Rasulullah berpuasa pada bulan-bulan lain lebih banyak dari puasa pada bulan Sya’ban”. (Hadis Shahih, riwayat Bukhari: 1833 dan Muslim: 1956. teks hadis riwayat al-Bukhari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar