SWEET ANGEL 'N REBEL YOUNG

SWEET ANGEL 'N REBEL YOUNG
My LeBeL

Sabtu, 28 Agustus 2010

Mengapa Bayi Bisa Stres VIVAnews By Petti Lubis, Lutfi Dwi Puji Astuti - Kamis, 26 Agustus

VIVAnews - Bayi sangat butuh sentuhan kasih sayang seorang ibu. Jika ibu tengah dirundung stres, bayi pun bisa ikut merasa stres.
Sebuah studi di Kanada mengungkapkan, bayi yang kehilangan perhatian ibu akan merasa cemas. Kondisi stres pada bayi ini bisa terjadi sejak si kecil baru lahir hingga usia 6 bulan, dan kebanyakan disebabkan tidak mendapatkan perhatian layak dari orangtuanya. Bayi yang merasa kehilangan cinta ibunya selama dua menit saja akan merasa cemas, seperti dikutip dari laman Dailymail.
Peneliti menemukan, tingkat hormon stres, kortisol melambung ketika bayi diabaikan oleh ibu mereka, dan bahkan pada hari berikutnya, mereka bisa merasa cemas hal sama terjadi lagi.
Para pakar perkembangan anak mengatakan, episode berulang dari stres ini dapat berdampak besar pada kesehatan anak di masa pertumbuhannya.
Untuk menyelidiki apakah bayi usia enam bulan mampu mengantisipasi masalah, para peneliti Kanada mengundang 30 ibu dan bayi mereka ke pusat penelitian. Para ibu dan anak ini dibagi menjadi dua kelompok.
Pada kelompok pertama, bayi diletakkan di kursi mobil dan ibu bermain dan berbicara dengan mereka seperti biasa. Drama itu kemudian diselingi dengan periode dua menit saat sang ibu hanya menatap kepala anaknya, menjaga wajahnya bebas dari emosi.
Keesokan harinya, ia membawa anaknya kembali ke pusat penelitian. Tingkat kortisol diukur beberapa kali pada dua hari tersebut. Jumlah kortisol meningkat ketika bayi-bayi itu diabaikan. Bahkan pada hari berikutnya.
Kelompok kedua, ibu bayi melakukan proses sama, namun tanpa mengabaikan setiap saat, dan kadar hormon stres mereka nyaris tidak berubah.
Peneliti Dr David Haley, dari University of Toronto, mengatakan, "Hasil penelitian menunjukkan, bayi manusia memiliki kapasitas untuk memproduksi respon stres antisipatif yang didasarkan pada ekspektasi tentang cara orangtua memperlakukan mereka dalam konteks tertentu."
Profesor Jay Belsky, dari Birbeck College, Universitas London, mengatakan, faktor seperti depresi dapat mempengaruhi hubungan seorang ibu dengan bayinya, dan meningkatkan kadar kortisol dari waktu dan waktu lagi. Kondisi ini jangan diabaikan, karena jika berlangsung lama dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh bayi.

Bahaya Menjadi Si Gila Kerja VIVAnews By Petti Lubis, Mutia Nugraheni - Kamis, 26 Agustus

VIVAnews - Selama ini mungkin Anda bekerja dengan semangat untuk mencapai kesuksesan tertentu. Baik naik gaji, bonus, ataupun menggapai jenjang karir yang lebih tinggi. Tetapi, jika sistem kerja Anda tidak teratur, setiap hari lembur dan tidak menyediakan waktu untuk beristirahat, ketika kesuksesan karir Anda raih, justru kesehatan bisa memburuk.
"Banyak orang menekan dirinya sendiri untuk hidup dengan tidak sehat demi mengejar kesuksesan. Tetapi, tekanan kerja tinggi dan jam kerja yang panjang, bisa membawa seseorang ke dalam masalah kesehatan serius bahkan bisa memperpendek umur," kata George Griffing, M.D., profesor pengobatan internal dari Saint Louis University, Filipina, seperti dikutip dari Times Of India.
Banyak bahaya kesehatan yang mengintai jika Anda gila kerja. Bukan hanya masalah kesehatan fisik tetapi juga psikologis. Berikut enam masalah yang timbul ketika seseorang menjadi workaholic.
1. Lupa bersantai
Stres karena pekerjaan dalam kadar tertentu memang cukup baik untuk 'memaksa' Anda tetap bekerja dan termotivasi. Tetapi, jika dibiarkan dan Anda lupa cara memanjakan diri, kehidupan hanya akan dilingkupi stres. Emosi Anda pun menjadi tidak stabil.
2. Tidak bisa menikmati makanan
Makanan selezat apapun tidak akan bisa Anda nikmati jika dikonsumsi di depan komputer, sambil conference call atau menyelesaikan deadline. Orang yang gila kerja cenderung merasa 'membuang waktu' jika menikmati makan siangnya di tempat makan tanpa membicarakan atau menyelesaikan pekerjaan.
3. Tidur minim
Seseorang yang menyebut dirinya profesional, berarti dia bisa membedakan kapan waktu pribadi dan kapan waktu untuk bekerja, termasuk waktu tidur. Setiap pekerja membutuhkan waktu tidur antara delapan hingga sembilan jam. Kurang tidur membuat emosi seseorang tidak stabil, kurang konsentrasi, bermasalah dengan memori dan cenderung membuat keputusan kurang tepat. Padahal hal itu sangat dibutuhkan oleh seorang profesional.
4. Bekerja saat sakit
Banyak pekerja tetap datang ke kantor meskipun sedang sakit. Padahal jika dilihat dari produktivitasnya, seseorang yang sakit jauh dari produktif saat bekerja. Jadi, lebih baik beristirahat dulu di rumah hingga sembuh daripada pekerjaan berantakan karena sakit.
5. Minum kopi berlebihan
Orang yang gila kerja seringkali minum kopi dalam jumlah banyak. Jika dilakukan terus-menerus risiko serangan jantung, gangguan pencernaan, kecanduan dan bahkan penuaan dini makin tinggi.

5 Tanda Anda Tidak Bisa Kontrol Amarah VIVAnews By Petti Lubis, Mutia Nugraheni - Jumat, 27 Agustus

VIVAnews - Ada perbedaan antara seseorang yang marah dengan yang bermasalah dalam mengontrol emosi. Dr. Redford Williams, profesor psikologi di Duke University Medical Center, Amerika Serikat dan penulis buku 'In Control' mengungkap lima perbedaannya.
Jika tanda-tanda berikut dialami oleh Anda sebaiknya berkonsultasilah dengan psikiater atau psikolog.
1. Marah besar karena masalah kecil
Marah bisa memiliki efek positif. "Seringkali amarah memberitahu kita untuk melakukan sebuah tindakan," kata Dr. Williams, seperti dikutip dari cbsnews.com. Tetapi, jika rasa marah muncul dan meledak-ledak hanya karena persoalan kecil, bisa jadi pertanda bahwa seseorang mengalami kesulitan dalam mengontrol emosinya.
2. Interupsi
Seseorang yang marah akan cenderung menjadi orang yang tidak sabar. Apalagi jika tidak bisa mengontrol amarahnya. Orang tersebut akan bermasalah untuk menunggu orang lain mengemukakan pendapatnya. Hal yang dilakukannya kemudian adalah selalu menginterupsi. Meskipun dia diam saja dan membiarkan orang lain bicara, sebenarnya ia tidak mendengarkan.
3. Selalu protes
Menurut Dr. Williams, orang yang menghabiskan waktu untuk mengeluh tentang pelanggaran dan kekurangan orang lain mungkin memiliki masalah dengan amarahnya. Beberapa orang marah dengan kata-kata kasar bicara soal politik, olahraga atau hal lain. Semua racun itu datang dari sumber yang sama yaitu amarah.
4. Sulit memaafkan
Hubungan personal bisa menjadi mimpi buruk ketika seseorang mengalami kesulitan memaafkan orang yang telah menyakitinya di masa lalu. Orang-orang dengan masalah amarah seringkali mengalami kesulitan dalam memaafkan orang lain. Sebaliknya, mereka terus frustrasi untuk kembali pada pengalaman menyakitkan dan kebencian setiap kali mengingat  kesalahan tersebut.
5. Wajah memerah
Saat emosi meninggi, wajah bisa terlihat merah. Ketika wajah merah, jika diukur dengan termometer suhu tubuh dalam keadaan tinggi. Kemarahan adalah efek yang jelas dari tubuh dan pikiran. Bahkan, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang sering marah cenderung memiliki tekanan darah tinggi dan mengalami stroke atau serangan jantung.